Senin, 16 April 2012 0 komentar

IKHTIYAR MENUJU ORAGNISASI PEMBERDAYA

(1) Mula-mula ingin saya katakan bahwa IPNU adalah “The main place of regeneration”. Kalimat itu patut disematkan kepada IPNU sebagai tulang punggung kaderisasi NU, sekaligus kaderisasi bangsa.

Betapa tidak! IPNU sejak awal kelahirannya telah mengemban amanat luhur sebagai pengkaderan pelajar yang merupakan basis generasi muda NU. Pada saat bersamaan, secara ideasional diaspora potensi kader diharapkan mampu mewarnai dinamika NU dalam konteks keumatan dan menjadi penentu sejarah bangsa dalam konteks kebangsaan.

Inilah posisi penting IPNU ditengah fluktuasi problematika keumatan dan kebangsaan sejak dulu, sekarang bahkan hingga di masa yang akan datang. Sebab kehadiran IPNU dilandasi oleh kebutuhan hadirnya kader pemimpin umat dan pemimpin bangsa yang mempunyai kemapanan sikap mental, kearifan perilaku, kecerdasan spiritual, kekayaan khazanah keilmuan dan inovasi tinggi. Kader IPNU adalah para inisiator unggul yang mampu mengkreasi tawaran-tawaran solutif atas problem pendidikan, problem stagnasi kaderisasi maupun dilema sosial kebangsaan yang ada selama ini dan akan datang.

(2)

Sebelum mengeksplorasi lebih lanjut orientasi progresif dan kerangka masa depan organisasi yang kita cintai ini, alangkah baiknya kalau kita menapak-tilasi jejak-jejak historis IPNU untuk mengetahui spirit masa (zeitgeist) dari ruang diskursif generasi IPNU yang berbeda-beda.

Ditilik dari latar historis, semangat berorganisasi dan berkader di IPNU tampak dari cikal bakal kelahirannya. Semenjak adanya Persano (Persatoean Santri Nahdlatoel Oelama) pada 1939, IMNU (Ikatan Murid Nahdlatul Ulama) di Malang pada 1947 dan di Semarang 1950, PARPENO (Persatoean Pelajar Nahdlatoel Oelama) di Kediri sampai keberadaan Ikatan Pelajar Islam Nahdlatul Ulama di Bangil. Hingga pada kongres LP Ma’arif di Semarang tanggal 24 Februari 1954/20 Jumadil akhir 1373 H, almarhum Tholchah Mansyur (Malang), Sofyan Cholil (Jombang), H. Mustamal (Solo) bermusyawarah untuk mempersatukan organisasi-organisasi tersebut dalam satu wadah, satu nama dan satu faham dengan nama Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama yang disingkat IPNU.

Sejak saat itu  IPNU berada dibawah naungan LP Ma’arif. Dan tepatnya di Kongres IV Surabaya tahun 1966, IPNU resmi menjadi badan otonom NU. Pada perkembangan selanjutnya IPNU sempat mengalami peredupan kiprah dan penurunan, karena terimbas oleh despotisme kebijakan pemerintah dan benih totalitarianisme Orde Baru. Hal ini berimplikasi pada akomodasi kepentingan negara untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasi dengan merubah akronim ‘pelajar’ menjadi ‘putera’. Perubahan nama itu berkonsekwensi pada perluasan zona garap dan target group yang awalnya spesifik ke ranah pelajar, menjadi lebih makro ke ranah pemuda secara umum. Kondisi semacam itu sekaligus memengaruhi fokus kinerja dan kerangka programatik IPNU secara keseluruhan.

Sehingga amanat Kongres XIII di Makassar pada Maret 2000 menitahkan agar IPNU kembali ke basis pelajar dan santri. Dan secara verbal akronim ‘putera’ pun dikembalikan kepada ‘pelajar’ pada Kongres XIV pada 18-24 Juni 2003 di Surabaya. Hingga saat ini pun, Ikatan ‘Pelajar’ Nahdlatul Ulama mempunyai target group pelajar yang berkorelasi langsung dengan beragam problem pendidikan secara menyeluruh.

(3)

Napak tilas singkat historiografi IPNU diatas telah menjelaskan kepada kita semua bahwa semenjak awal hingga kini dan nanti di masa mendatang, IPNU tetap konsisten, istiqomah dan berkomitmen menjadi ruang dialektika kader-kader pelajar, sekaligus sebagai ‘kawah candradimuka’ kaderisasi generasi masa depan NU.

Positioning semacam ini secara kontinyu dilakoni oleh IPNU, sehingga IPNU sedang dan telah menjadi organisasi pembelajar, meski secara ideal masih membutuhkan berbagai pembenahan disana-sini. Sebagaimana yang sering saya sampaikan, bahwa organisasi pembelajar atau learning organisation adalah organisasi yang tidak hanya menghasilkan produk, tapi juga melakukan peningkatan kualitas diri, terobosan, kreatifitas dan kemampuan multidisipliner.

Harus kita sadari bersama bahwa IPNU saat ini dan di masa mendatang, menghadapi berbagai tantangan yang kian hari kian berat. Dalam berbagai kesempatan tidak jarang saya menyampaikan adanya berbagai tantangan IPNU ke depan, terkait problematitika makro-eksternal seperti liberalisasi ekonomi yang berpengaruh pada kapitalisasi dunia pendidikan, kian merosotnya Human Development Index atau rating kualitas SDM Indonesia dibandingkan dengan negara-negara berkembang lain, maupun kegagapan kita dalam mengadaptasi kemajuan teknologi dan informasi.

Salah satu problem yang tak kalah penting adalah benih radikalisasi agama yang kini sedang menggejala di kalangan pelajar. Penelitian paling mutakhir oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian, menyebutkan 48,9 persen pelajar tingkat SMP dan SMA di Jabodetabek menyatakan siap melakukan kekerasan terkait isu agama dan moral. Fakta ini tentu sangat mencengangkan kita semua.

Berbagai ikhtiar programatik telah dan sedang kita laksanakan untuk menjawab fenomena tersebut. Diantaranya, sejak awal kepengurusan kita di PP IPNU, radikalisme agama merupakan satu mind issue yang secara konsisten kita lawan. Kita telah mendesak pemerintah untuk mencabut dan meninjau ulang SK Menteri Pendidikan Kebudayaan RI Nomor 0209/4/1984 dan Surat Keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdikbud tanggal 9 Juni 1980 tentang monopoli OSIS sebagai organisasi pelajar, karena nyata-nyata di dalamnya telah tumbuh subur penanaman benih radikalisme melalui Rohis (rohaniawan Islam). Kita bahkan telah bertemu dengan wakil Presiden Boediono dan menyampaikan desakan untuk segera menyikapi dan bertindak tegas terhadap ancaman radikalisasi di kalangan pelajar. Beragam program empat pilar yang bekerja sama dengan MPR RI juga sedang dalam proses pelaksanaan, sebagai bukti keterlibatan aktif IPNU menopang Pancasila, nasionalisme dan eksistensi NKRI dari rongrongan kaum radikalis.

Selain itu pula, dalam rangka meningkatkan kualitas SDM kader IPNU, kita sedang menggalakkan pendidikan anak-anak pintar usia SMA agar mempunyai kemampuan ilmu multidisipliner, kepiawaian berorganisasi, mengasah talenta kepemimpinan sekaligus mempunyai social and political concern. Upaya itu kita lakukan melalui Beasiswa Pintar. Kita juga telah dan sedang menggalakkan peningkatan kapasitas militansi dan pendalaman materi kaderisasi melalui berbagai workshop kadiresasi dan rencana pembuatan modul kaderisasi, meski hingga kini masih menemui beberapa hambatan. Kita berharap semoga segera tuntas.

(4)

Dialektika programatik yang telah dan sedang kita gagas sesungguhnya menjadi ikhtiyar dan ijtihad organisatoris dalam memerankan diri sebagai learning organisation dan menjawab himpitan tantangan yang kita hadapi saat ini.

Lebih lanjut, tidak sekedar kebutuhan akan learning organisation, di masa mendatang IPNU harus siap menjadi organisasi pemberdaya (empowering organisation), yaitu organisasi yang mampu memberdayakan para kadernya menjadi para kreator, inisiator dan inspirator yang menjalankan roda organisasi ke arah peran-peran profetik-keumatan dan kebangsaan. Ketiga kata: ‘kreator, inisiator dan inspirator’ itulah yang menjadi motor penggerak dinamika organisasi.

Ketiga katab kunci tersebut didalam Empoworing organization sebagaimana digagas oleh David Gershon dalam The Empowering Organization: Changing Behavior and Development Talent in Organizations, memerlukan sinergi yang baik dari masing-masing kader di dalam organisasi. Setidaknya terdapat lima pilar utama menuju organisasi pemberdaya.

Pertama, tanggungjawab bersama (group responsibility). Tanggungjawab bersama ini mutlak dilakukan melalui sinergi programatik sesuai kewenangan masing-masing.

Kedua, kepercayaan (trust). Ini penting diberdayakan antar masing-masing elemen di dalam organisasi agar terjadi mutualisme pola kerja dalam mencapai tujuan yang diinginkan.

Ketiga, keseriusan berproses bersama dalam meningkatkan kemampuan diri (personal and group processe skill). Beragam permasalahan dan  tantangan yang dihadapi organisasi harusnya dijadikan alat untuk belajar mencari formula solutif. Jadi kader-kader IPNU akan terbiasa menghadapi masalah dan sekaligus menyelesaikannya dengan cepat dan tepat.

Keempat, pembelajaran dan pengembangan diri (learning and growing). Pembelajaran sebenarnya mendapatkan inti artinya untuk menjadi sangat manusiawi (humanis). Melalui pembelajaran kita dapat melakukan sesuatu yang tidak pernah dapat kita lakukan sebelumnya. Melalui pembelajaran kita merasakan kembali dunia dan hubungan kita dengan dunia tersebut. Melalui pembelajaran kita memperluas kapasitas kita untuk menciptakan, menjadi bagian dari proses pembentukan kehidupan. Pandangan ini tidak jauh berbeda dengan pesan moral yang terkandung dalam salam kebanggaan warga IPNU, "belajar, berjuang, bertaqwa".

Kelima, saling menjaga (carying). Organisasi akan karut-marut jika kader satu dan lainnya tidak saling menjaga, sebaliknya saling menjegal. Ini artinya, betapapun kuatnya arus politik yang terjadi di dalam organisasi sebagai bagian dari dinamika internal, musti ada kesepakatan bersama sejauhmana koridor politik dilakukan, dan sejauhmana masing-masing kader saling menopang dan menjaga satu dan lainnya.

Nah, kelima poin tersebut diatas menjadi semacam inspirasi dan terapi bagi IPNU untuk melahirkan kader-kader militan, kreator, inisiator dan sekaligus inspirator. Pada akhirnya, empowering organization dapat menjadi peta jalan (road map) bagi proses menuju IPNU yang berdaya, kreatif, inovatif dan inspiratif. Sehingga harapan NU dan harapan bangsa kepada kader-kader IPNU untuk menata masa depan tidak akan sia-sia.

Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith Thoriq

Judul Asli IPNU DULU, KINI DAN AKAN DATANG: Ikhtiyar Menuju Organisasi Pemberdaya
Oleh Achmad Syauqi
Sumber http://www.ipnu.or.id/

Jumat, 13 April 2012 0 komentar

DARI SUDUT WARUNG KOPI UNTUK ORGANISASI


DARI SUDUT WARUNG KOPI UNTUK ORGANISASI [1]
(Oleh: Imam Muttaqin)
Dari Sudut Warung Kopi Untuk Oraganisasi (IPNU-IPPNU)
Rekan Haikal dipenghujung Session Micro Teaching

Beberapa hari yang lalu rekan-rekan kita yang segera beranjak dari bangku sekolah menengah telah merampungkan Ujian Nasional. Setelah ujian itu berakhir obrolan kisah perjuanganpun menjadi bahan pembicaraan yang sangat menarik dikalangan pelajar kita.

Tak luput dari obrolan ringan disudut-sudut kantin sekolah, kedai kopi, bahkan sampai dipinggir jalan tempat dimana pelajar-pelajar kita biasa mangkal diluar jam sekolah, sayapun turut berbincang dengan beberapa rekan disebuah sudut kamar tempat saya biasa menghabiskan waktu.

Sambil menyupit se-util rokok diantara jari telunjuk dan jari tengah dengan ditemani segelas wedang kopi obrolan itupun smapai kemana-mana. Canda tawa dan wajah yang sedikit riang bisa saya lihat dari wajah rekan2 saya yang baru saja menyelesaikan Ujian Nasional yang beberapa bulan ini mereka rasakan sebagai momok yang sangat menakutkan dan telah merenggut kebebasan mereka. Sebuah perasaan yang pernah menghantui saya empat tahun yang lalu.saaat saya masih duduk di bangku sekolah menengah.

Saya tidak begitu terkejut saaat rekan2 saya tersebut dengan entengnya membuka mulut bercerita tentang bagaimana mereka melewati hari-hari Ujian itu. Dengan bangga mereka menceritakan bagaimana jawaban-jawaban yang mereka coretkan diatas kertas jawaban mereka peroleh dari teman-teman lainnya yang mereka pikir lebih pandai. Bagaimana handphone yang saat ini menjadi salah satu kebutuhan primer hidup manusia mamapu membantu mereka dalam membuang beban Ujian Nasional yang semestinya mereka kerjakan secara mandiri.

Saya kira sedikit cerita diatas juga pernah lewat telinga dan singgah di pikiran kita. Sebuah realitas pelajar yang samapai saat ini membaur dalam kisah kisah yang tak akan pernah dilupakan sampai kapanpun.

Sebuah pertanyaan yang saya kira patut untuk kita telusuri jawabannya. Sejauh inikah kedewasaan dan kesadaran pelajar-pelajar kita?

Diakui atau tidak dipundak dan tangan pelajarlah masa depan bangsa dan negara ini. Yakni generasi muda yang masih punya semangat belajar tinggi dan masih punya banyak ruang dan waktu untuk membangun dan mengejar cita-cita. Bukan hanya sekedar cita cita pribadi namun juga cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia.

Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama dan ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama sebagai salah satu organisasi pelajar yang telah mengakar dari ibukota samapai pelosok-pelosok desa, sudah semestinya mampu membangun dan mambangkitkan kesadaran akan pentingnya arti belajar dalam kehidupan.

Mampu menjadi motor penggerak akan pentingnya memiliki wawasan keilmuan yang luas dan profesionalitas yang tinggi. Bukan sekedar coretan tinta emas diatas kertas ijazah yang akan lapuk oleh masa.

Sejarah mencatat kaum pelajarlah yang menjadi motor penggerak setiap perubahan negeri ini. Pergerakan budi utomo, proklamasi kemerdekaan yang diawali dengan peristiwa Rengasdengklok, Pembubaran PKI dan runtuhnya ordelama sampai lahirnya reformasi dalam tubuh bangsa dan negara ini dimotori oleh Kaum pemuda dan pelajar.

Sejenak mari kita melihat kekanan dan kekiri. Cobalah lihat bagaimana kondisi pemuda dan pelajar-pelajar kita? Masihkah kiranya mereka memiliki aura dan semangat juang untuk bersama sama membangun diri, bangsa dan negara ini? Aktif dalam kehidupan sosial maysarakat untuk turut bersama mengangkat lengan membuat perubahan ditengah tengah masyaraktnya? Atau justru tenggelam dalam dunia hedonis dan individualistik? Membanggakan sikap kedaerahan atau kesukuan yang telah terbukti tidak mampu mewujudkan kesejehteraan bersama?

Melihat kenyataan yang demikian, siapakah yang kemudian harus dipersalahkan? Lembaga pendidikan, pemerintah dan masyarakatnya? Atukah pelajar-pelajar kita? Saya kira kurang bijak jika kita mencari cari siapa yang harus dipersalahkan.

Hari ini kita harus mulai membenahi diri. Kita tidak bisa lagi menunggu. Kita harus mulai dari diri kita. Siapa lagi kalau bukan kita yang memulai. Dimana kita berada dari situlah kita mengawali langkah kita.

Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama. Dari sinilah kita mulai. Membangun diri dan bersama-sama membentuk jiwa keterpelajaran. Dan bersama sama meneruskan tongkat estafet mewujudkan cita-citabangsa dan agama.

Kemudian marilah melihat kedalam diri kita. Sejalan dengan berjalannya waktu problematika organisasi tak mungkin dapat kita hindari. Ini adalah hukum Allah yang berjalan menghiasi setiap langkah kita.

Hari ini saya merasa ada disorientasi tujuan organisasi. Bukan tujuan organisasinya yang saya maksudkan disini. Tapi arah tujuan oleh pemegang roda organisasi. Saya merasakan masing masing lebih mengedepankan tujuan pribadinya. Tak bisa kita pungkiri bahwa dengan berada dalam sebuah organisasi setiap orang pastilah memiliki tujuan yang berbeda. Namun demikian, tidak berarti kemudian kita tidak lagi menghiraukan tujuan organisasi. Sudah semestinya tujuan organisasilah yang harus di nomer wahidkan. Karena pada dasarnya organisasi dibentuk karena adanya kesamaan tujuan dan kesadaran bersama untuk mencapai tujuan itu. Adapun jika ada tujuan lain yang tidak menjadi tujuan bersama maka asalkan tidak bertentangan dengan tujuan utama saya kira itu sah-sah saja. Dan tetap dengan catatan tidak mengesampingkan tujuan utama.

Kembali menyatukan persepsi dan membentuk arah organisasi secra bersama sama adalah hal urgen dari sisi ini.

Selain disorientasi tujuan saya merasakan adanya gerak mundur idealisme keorganisasian. Yang kemudian juga didorong gerakan gerakan yang melemahkan idealisme organisasi yang harus segera kita counter.

Pendalaman dan penguatan materi-materi dasar (ke-ASWAJA-an, ke-NU-an dan ke-IPNU-IPPNU-an) harus menjadi bahan pengembangan yang perlu diperhatikan. Dititik inilah yang secara umum saya rasa mulai kita lupakan. Hal ini bisa kita lihat dalam setiap kegiatan kita. Seberapa besar dan dalamkah pendalaman materi ini. Selama ini saya melihat titik fundamental ini hanya menjadi sebuah pencarian secara pribadi dan belum menjadi target yang diutamakan dalam setiap kegiatan.

Kesadaran untuk mentaati peraturan menjadi problem berikutnya. Namun terkadang engan dalih bagaimana kita bisa mentaati peraturan jika kita tahu kalau aturan itu ada. Kalaupun saya tahu peraturan itu ada dimana sekarang ia berada dan mencarinya? Ini juga mesti menjadi hal yang perlu kita carikan problem solvingnya.

Dalam hal ini komunikasi ternyata masih menjadi kendala utama. Padahal dengan kemajuan teknologi informasi seharusnya hal ini tidak lagi menjadi problem.

Kesadaran, saya kira disanalah titik yang harus segera kita lahirkan kembali. Titik yang harus kita tumbuh kembangkan. Sadar akan siapa dan dimana kita berada, sadar untuk bahu membahu mencapai tujuan bersama, sadar akan tugas dan wewenang, saling menghargai dan mambangun komunikasi yang fleksibel.

Entahlah kalau kemudian apa yang saya tuliskan ini berputar putar bak baling bambunya doraemon. Satu hal yang kemudian mengusik fikiran saya. Siapakah kader pemegang estafet organisasi ini.

Di tempat saya berdiri, keder yang saya maksudkan diatas cenderung sudah cukup umur. Mereka yang sudah atau akan segera mulai disibukkan untuk mengepulkan asap dapur dan memeras keringat untuk biaya keseharian.

Entah karena kaderisai yang tidak berjalan sehingga memang inilah yang ada. Atau juga karena mereka yang tidak rela meninggalkan the second scool (Organisasi). Objek kaderisasi, disinilah lingkaran yang mesti kita rubah juga. Dari sudut ini akronim kepemudaan sepertinya masih melekat. Atau kemudian akronim pelajar yang kemudian dikesampingkan.

Bergerak ke pelajar murni tanpa mengesampingkan pelajar alami merupakan hal yang juga mesti menjadi bentuk gerakan kita berikutnya. Menjaring kader kader yang lebih muda yang masih duduk dibangku Sekolah dan masih punya banyak waktu untuk dicetak menjadi kader kader militan dengan loyalitas tinggi yang profesional dalam mengemban tugas.

Ada banyak hal yang perlu kita benahi namun dari diri kitalah semua itu bisa dicapai. Semoga Allah senantiasa menuntun langkah kita menjadi insan kamil. Ihdinas shiroothol mustaqiim. Akhir kata mohon maaf jika tulisan ini hanya menjadi sampah dan kosong dalam makna.

B5 Trenggalek, 14 Mei 2010
______________
[1] Ditulis dalam rangka ikut serta LATPEL II IPNU Jatim 2010


Kamis, 12 April 2012 0 komentar

MELIHAT KEDALAM DAN MEMBANGUN MIMPI


MELIHAT KEDALAM DAN MEMBANGUN MIMPI[1]
(Oleh : Imam Muttaqin)


PENDAHULUAN

Diawal tahun 1431 H dan akhir tahun 2009 ini sudah selayaknya dan menjadi agenda yang semestinya kita renungkan kembali setapak demi setapak jalan yang telah kita lalui. Mencoba mencari setiap kelemahan dan kelebihan yang ada dalam diri kita. Kemudian dengan bekal keagungan akal sehat dan kejernihan hati mencoba mengenali diri dan membangun mimpi serta harapan untuk diperjuangankan keesokan hari. 
(IPNU-IPPNU) Melihat Kedalam Dan Membangun Mimpi
KH. Hasyim Muzadi Sedang memberikan pengarahan kepada peserta LAKUT IPNU JATIM 2009

BERCERMIN

1954, tahun dimana sebuah ikatan yang dilandasi oleh kesamaan faham mencoba membangun diri untuk membentuk sebuah citra diri ditengah heterogenitas masyarakat Indonesia. Ribuan pulau yang menyatakan diri sebagai satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Dan menamakan diri Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama. Sebagai sebuah ikatan untuk menyatukan kelompok-kelompok pemuda dan pelajar daerah yang tercerai berai.

1952, NU keluar dari masyumi yang kemudian mendeklarasikan diri sebagai partai NU pada 1954 untuk ikut pemilu multipartai pertama dalam sejarah Indonesia pada 1955. Pada tahun transformasi NU menjadi partai politik inilah IPNU dilahirkan sebagai sebuah organ tandingan organ–organ lain yang berafiliasi dengan partai-partai lain yang nantinya akan bersanding pada pemilu 1955.

Meskipun lahir sebagai jawaban untuk membentuk dukungan terhadap Partai NU pada segmen pemuda dan pelajar, serta pernah njenang abang (baca: berubah nama) menjadi Ikatan Putra Nahdltul Ulama pada tahun 1988 dan kembali lagi pada akronim lama sebagai Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama setelah konggres XIV di Surabaya pada tahun 2003 IPNU mampu bertahan sampai sekarang.

Citra Diri

Mampu bertahan bukan berarti tidak akan punah. Lewat perbincangan sehari-hari dan fakta yang ada disekitar kita bisa kita lihat satu demi satu anggota-anggota kita berguguran sebelum sampai pada level kader. Mengapa? Loyalitas dan komitmen berorganisasi yang lemah serta ketidak mampuan ikatan (baca:IPNU) untuk menjadi sebuah wadah penguatan aqidah, pengembangan ilmu dan penguatan kemampuan berorganisasi.

Keadaan ini kemudian akan membawa Ikatan ini pada sebuah citra diri negatif yang akan membawa IPNU pada kondisi mati suri. Keadaan yang sangat tidak kita inginkan.

Manusia pada dasarnya menyatakan dirinya dengan bertingkah laku, dalam hal ini manusia menggunakan sistem kognitif yang berbeda dengan hewan yang bertingkah laku hanya sekedar menggunakan instingnya saja. Manusia dapat bertingkah laku secara sengaja maupun tidak sengaja. Dalam bahasa psikologi disebut sebagai tingkah laku yang sadar dan tingkah laku tak sadar. Menurut Jalaludin Rahmat (1996), apa yang dilakukan oleh manusia melalui tingkah lakunya itu adalah “Aku” seseorang atau “Self”. Menurut Maxwell Maltz (Bobbe Sammer and Mark F. 1995), kita sadari maupun tidak masing-masing dari kita selalu membawa suatu cetak mental, atau gambaran tentang diri kita sendiri. Biasanya gambaran tersebut kabur dan yang Nampak pada alam kesadaran kita seringkali tidak sama dengan yang sebenarnya. Karena terlalu kabur maka terkadang gambaran tersebut bahkan tidak nampak pada alam kesadaran kita. Gambaran tentang diri seseorang itulah yang lazim disebut sebagai Citra Diri atau Self Image, yakni konsepsi kita tentang “siapa diri kita ini”. Gambaran yang terbentuk atas dasar keyakinan-keyakinan diri kita sendiri, dan sebagian besar keyakinan tersebut tersusun dari berbagai pengalaman dimasa yang lalu, baik keberhasilan maupun kegagalan, serta berbagai cara orang lain memperlakukan kita atau berekasi terhadap kita. Namun banyak dari individu yang beranggapan sekali gambaran itu muncul, maka untuk seterusnya kita menganggapnya sebagai sesuatu yang “benar”. Kita tidak lagi mempertanyakan keabsahannya, melainkan langsung menganggapnya sebagai suatu pijakan dasar yang sah dalam bersikap dan bertingkah laku, seolah “gambaran” tersebut memang benar. Maka secara singkat dapat dikatakan bahwa citra diri berpengaruh pada perilaku kita sehari-hari.

Lebih lanjut dikatakan oleh Jersild (1961), bahwa Citra Diri adalah bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri, bagaimana bayangan atau gambaran tentang diri seorang individu itu sendiri mengenai dirinya. Self atau diri yang ada dalam diri seseorang tersebut merupakan Inner World seseorang yang termasuk didalamnya mengenai pikiran dan perasaan, perjuangan dan harapan, ketakutan dan frustasi, serta pandangan tentang apa dan siapa dirinya dan juga bagaimana dia ingin dipandang oleh orang lain. Dari beberapa pernyataan tokoh di atas maka dapat diambil kesimpulan secara singkat bahwa Citra Diri adalah suatu gambaran, cerminan, pandangan, dan bayangan yang dimiliki oleh seseorang mengenai dirinya sendiri. Dimana citra diri tersebut sangat berpengaruh terhadap pola pikir dan pola tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan lingkungan sekitar.

Cara mudah melihat contoh citra diri sehat adalah dengan melihat anak balita. Mereka begitu expresif, berani, tidak memiliki kecemasan berlebihan,  berpikiran terbuka, optimis dan lain lain. Berdasarkan penelitian, ketika beranjak remaja, banyak anak anak ini mulai "terkontaminasi". Mereka jadi pemalu, takut, tidak expresive, pesimis dan lain sebagainya. Kalau hal hal tersebut melampaui batasan normal alias berlebihan, ini merupakan gejala memiliki citra diri yang kurang sehat.

Begitu pula Ikatan ini, sebagai kumpulan manusia yang idealnya memiliki tujuan yang sama sebagai sebuah organisasi. Bagaimanakah Ikatan ini melihat dirinya sebagai sebuah organisasi ke-pelajar-an. Pertanyaan berikutnya adalah sudahkah kita meiliki kesamaan visi dan misi? Ataukah visi dan misi itu hanya menjadi rangkaian huruf diatas kertas saja? Akankah Ikatan ini akan kuat jika kita tidak mampu melihat diri kita?

Dan jawaban yang sederhana kita temukan adalah rapuhnya kejiwaaan kita dan dengan lantang kita menegakkan kepala dan membentang dada.

ARAH PERJUANGAN IPNU

Dalam rangkaian kata kita tahu hakikat ipnu adalah wadah perjuangan NU untuk mensosialisasikan komitmen nilai-nilai keislaman, kebangsaan, keilmuan, kekaderan dan keterpelajaran dalam upaya pengalian dan pembinaan kemampuan yang dimiliki sumberdaya anggota, yang senantiasa mengamalkan kerja nyata demi tegaknya ajaran islam ahlussunah wal jama’ah dalam kehidupan bermasyarakat Indonesia yang berdasarkan pancaasila dan UUD 1945.

IPNU merupakan wadah berhimpun pelajar NU untuk mencetak kader yang memiliki akidah, ilmu, organisasi. Dengan Orientasi ipnu Berpijak pada kesemestaan organisasi dan anggotanya untuk senantiasa menempatkan pergerakan pada ranah keterpelajaran dengan kaidah “belajar, berjuang dan bertaqwa”, yang bercorak dasar wawasan kebangsaan, keislaman, keilmuan, kekaderan dan keterpeklajaran.
Sejauh manakah hal ini menjadi bagian dari komitmen dan loyalitas kia?

MENYONGSONG HARI ESOK

Kalau kita mengikuti ramalan (baca: prediksi) M. Kholidul Adib[2] tentang siklus 29 tahunan NU maka hari ini kita sedang menghadapi sebuah tantangan untuk masuk siklus keempat pada tahun 2013 mendatang dimana NU akan kembali menjadi partai politik setelah kegagalan pola-pola politik yang dijalankan sebelumnya. Jika hal ini benar-benar terjadi dan NU kembali dalam kancah politik 2014 mendatang yang jawabannya akan bisa kita lihat beberapa bulan mendatang lewat hasil muktamar NU yang sempat tertunda kemarin, maka IPNU benar-benar harus segera berbenah diri jangan sampai terbawa arus yang hanya akan semakin memperburuk citra diri IPNU. Tentu hal tersebut masih menjadi sebuah ramalan yang belum tentu akan terjadi. Namun demikian kita juga perlu tahu bahwa kita sedang dihadapkan pada berbagai macam problem yang tidak sederhana.

Disadari atau tidak Ikatan ini semakin merenggang dan tentu hal yang sangat tidak kita harapkan “mati suri”-nya IPNU adalah sebuah mimpi yang benar-benar harus kita buang jauh-jauh. Untuk itu jalinan komunikasi harus benar-benar kita perkuat meskipun dengan istilah “ long distance”.

Namun demikian ada hal lain yang perlu kita bangun yakni komitmen dan loyalitas. Dan inilah yang sebenarnya sedang kita butuhkan. Karena komitmen da loyalitas akan menjadi air yang menyegarkan ditengah garingnya padang pasir yang tandus.

Dengan komitmen dan loyalitas inilah kita akan mampu membangun citra diri yang positif dan sinergis dengan arah perjuangan kita. Dan sisa pertanyaan berikutnya adalah dimana letak komitmen dan loyalitas itu? Jawabannya ada pada diri kita masing-masing.

Komunikasi, komitmen dan loyalitas serta Menjadikan arah perjuangan sebagai pandangan hidup.

[1] Tulisan ini dibuat dalam rangka menghadiri LAKUT PW IPNU JATIM 2009-2010
[2] Pengurus PW IPNU Jawa Tengah dalam buletin “KHITTHAH” (IX/IV/2009)

Selasa, 10 April 2012 0 komentar

Tentang Blog Ini

Kalau saya tidak salah ingat saya mulai mengenal lebih dekat dengan IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama) sejak akhir tahun 2005. Kebtulan waktu itu adalah sebuha masa transisi bagi saya setelah lulus sekolah menengah di tempat kelahiran saya, Trenggalek. cerita selengkapnya insyaallah akan saya posting lain waktu, karena pada posting ini saya akan menulis tentang latar belakang pembutan blog "Catatan Pelajar" ini.

Harapan saya, di blog ini saya bisa menuliskan berbagai macam pengalaman, materi serta bahan renungan selama saya aktif di organisasi ini. Dan tentunya saya juga mengundang rekan semuanya yang sempat membaca catatan ini untuk ikut menulis d blog ini. Dengan harapan secara bersama-sama kita bisa mendapatkan sudut pnadang yang lebih obyektif dalam mengenal IPNU.

Ups... bukan hanya IPNU saja tetapi juga IPPNU (Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama). Ya, IPPNU juga karena tanpa IPPNU, IPNU Tidak akan berdiri dan sebaliknya tanpa IPNU, IPPNU tidak akan berkembang (Just Kiding kan-G).

dan akhirnya komentar, saran, kritik, yang membengaun ataupun yang hujatan akan sangat saya tunggu!

Salam Pelajar, Pejuang, dan jadilah bagian dari orang-orang yang bertaqwa!

10 April 2012/@B5,

deJaka

 
;